Jumat, 05 Februari 2021 - 16:00:59 WIB
Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah) |
Jawaban Mengejutkan Muhamadiyah Soal Bolehkah Transaksi Dinar di Indonesia
Oleh: Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah)
Sudah semestinya, dalam bertransaksi bisnis di wilayah Indonesia kita harus menggunakan mata uang rupiah. Di negara kita, hanya mata uang rupiah yang sah diakui sebagai alat pembayaran.
Ini penting kita perhatikan, karena pelanggarannya akan berpengaruh terhadap kekuatan dan nilai tukar mata uang rupiah. Kita hindari bertransaksi menggunakan mata uang asing agar nilai mata uang rupiah stabil.
Menurut peraturan Bank Indonesia, setiap transaksi yang dilakukan di wilayah Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah. Turis asing harus menukarkan uang negaranya ke rupiah sebelum berbelanja. Meski di Bali, transaksi dengan dolar sering kali dibiarkan. Maksudnya, memberi kemudahan bagi wisatawan asing, padahal itu jelas melanggar ketentuan BI karena akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional.
Lantas, apakah transaksi di Pasar Muamalah yang digagas aktivis konsumen dan mantan wartawan Zaim Saidi di Depok, Jawa Barat, sama dengan yang terjadi di Bali?
Tampaknya, keduanya berbeda.
Transaksi di sana tak menggunakan mata uang asing negara mana pun.
Para pedagang dan pembeli memang memiliki koin dinar dan dirham, tapi jelas itu bukan mata uang resmi salah satu negara mana pun di dunia.
Bahkan, koin dinar dan dirham yang mereka miliki berbahan baku emas dan perak yang diproduksi perusahaan BUMN PT Antam atau perusahaan lainnya. Jadi mereka membeli emas dan perak dari PT Antam, yang mereka bayar dengan mata uang rupiah, kemudian keping emas dan perak yang mereka sebut dinar dan dirham itu dijadikan sebagai alat tukar barang di antara mereka sendiri sesuai kesepakatan.
Dari sini saja jelas, tindakan yang dilakukan warga di Pasar Muamalah Depok berbeda dari yang dilakukan banyak turis di Bali.
Dalam kasus yang terjadi di Bali, mereka bertransaksi dengan mata uang asing, antara lain mata uang dolar milik negara Amerika Serikat atau yen milik Jepang. Sementara di Depok, mereka tidak bertransaksi dengan mata uang asing apa pun.
Sejauh ini, tidak ada satu pun negara di dunia yang memiliki dan mempergunakan dinar dan dirham yang mereka buat dan mereka pergunakan tersebut. Karena ia bukan mata uang dari satu negara mana pun di dunia dan juga bukan mata uang yang diakui di Indonesia. Maka ada dua kemungkinan kategori transaksi yang mereka lakukan, yaitu jenis barter atau semacam voucher.
Transaksi barter, yang sudah dikenal sejak masa peradaban Mesopotamia, merupakan pertukaran antara satu komoditas dengan komoditas lainnya, seperti ayam, kambing, beras, dan lain-lain. Bukan transaksi antara uang dengan komoditas.
Bahkan, Presiden BJ Habibie pernah melakukan barter pesawat terbang yang diproduksinya dengan komoditas beras sesuai kesepakatan. Praktek tukar guling lahan juga termasuk jenis transaksi barter ini.
Transaksi di Pasar Muamalah Depok, dilihat sekilas, juga tampak dilakukan melalui cara yang mirip dengan transaksi menggunakan voucher. Pihak-pihak yang berkepentingan terlebih dahulu harus membeli atau menukarkan uang rupiahnya ke dalam koin dinar dan dirham. Baru setelah itu, mereka bisa berbelanja di pasar tersebut. Alasannya, inilah sunnah Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Praktek transaksi menggunakan cara barter atau voucher nyatanya berlangsung di tengah masyarakat. Bahkan, negara pun melakukannya.
Lantas, pertanyaannya, mengapa pelaku yang bertransaksi di Pasar Muamalah Depok itu ditangkap oleh polisi? Apa dasarnya? Apakah karena yang bersangkutan telah melanggar ketentuan BI yang melarang transaksi menggunakan mata uang asing seperti dolar, euro, yen, dan lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu pihak kepolisian yang berhak menjawab. Yang pasti, transaksi yang berlangsung di Pasar Muamalah Depok tidak masuk kategori penggunaan mata uang selain rupiah. Koin dinar dan dirham yang mereka pergunakan bukanlah mata uang asing negara mana pun.